ARDITYA
"Yang di Jepang seru kayaknya?"
"Yoi."
"Pantes! Pagi-pagi udah cengar-cengir sendirian kayak orang bego."
Tanpa memperhitungkan rasa capek dan sebangsanya, occasion yang gue hadiri di Jepang kemarin memang seru sekaligus berkesan. Tapi entah kenapa gue sendiri nggak yakin kalau itu yang bikin gue cengar-cengir—as Braga said—sambil baca press release di pagi hari yang cerah dan mendamaikan ini. Yang saking damainya, itu langit indahnya bak permadani taman surga di mata gue—macam gue pernah ke surga aja?
Braga menarik kursi menjadi di sebelah gue lalu mendudukinya. Tatapannya memindai meja, "Udah H plus tiga masih ada aja yang ngirim birthday gift? Itu meja gue liat-liat udah mirip lapak kue dadakan yang buka pas deket-deket lebaran." Kontras dengan cibirannya, tangan Braga bergerak membuka setoples coklat dengan terlebih dahulu menyingkirkan notes kuning dan menempelkannya di monitor gue. "Sweet chocolate for the sweetest one. Happy Birthday, Mas Arditya. Syeril, emoji love—eh, smile." Braga baca notes pakai nada dibuat-buat, bikin tangan gue gatel pengen jejelin semua coklat itu ke mulutnya biar diam.
"Syeril itu pegawai probation yang terang-terangan ngajak lo nge-date itu ya?"
“Ngajak dinner,” Gue mengoreksi ucapan Braga yang berlebihan sambil menggeser dua bungkus kue yang dihias pita, satu biru dan satu merah. "Bantuin. Gue nggak mau diabet sendirian."
"Ogah. Bukannya takut diabet. Gue lebih ngeri itu ada peletnya."
"Itu yang dari Syeril, lo telen-telen aja."
Braga yang lagi ngunyah coklat langsung nyengir lebar, "Kalau Syeril, nggak perlu dipelet juga gue-nya yang mepet duluan.”
“Terus kenapa nggak dipepet? Bukan karena gue kan?”
“Kepedean!” Braga mencibir, membuat gue tergelak, “Emangnya sejak kapan gue mundur gara-gara ada saingan, bahkan kalau saingannya elo sekalipun–as long as lo-nya nggak naksir balik.” Tawa gue mengencang teringat peraturan tidak tertulis yang sering dia tegaskan, yang kemudian lama kelamaan menjadi peraturan kami berdua. Cewek yang nggak bakal masuk radius Braga cuma cewek yang gue taksir, begitu juga sebaliknya. “Nah, di case-nya Syeril mah udah jelas-jelas jauh! Lo aja nggak ada ngelirik dia, kalau bukan kepaksa harus bahas kerjaan.”
Gue nggak mengelak. Memang itu faktanya, “Terus pertanyaan gue tadi. Kenapa jadinya?”
Braga menambah pasokan coklat ke dalam mulutnya, “Udah pernah. Cuman, agak susah dideketin gitu anaknya. Gue keburu kedistrak yang lain lah.”
"Tumben langsung nyerah." Gue mencibir balik.
Braga berhenti mengunyah, "Oh, gitu? Nggak cocok sama image gue ya? Oke deh, nanti gue usaha lagi. Thanks bro, udah memotivasi gue." Dia menepuk-nepuk pundak gue.
Gue cuma bisa geleng-geleng lalu beralih merapikan laptop yang mau gue bawa.
"Traktir gue kapan?"
Gue menaruh perangkat laptop yang sudah siap di dalam tas dan tinggal angkat, "Kado buat gue udah ada?"
"Ck, nambah umur tuh banyakin berbagi. Apalagi sama temen."
"Nah, karena lo temen makanya give and take dong, Pak Braga."
"Masalahnya give and take sama lo itu ibarat besar pasak daripada tiang, Pak Arditya. Bikin gue bangkrut."
"Sama temen nggak boleh pamrih. Gue cuma minta sepatu ini.
"YA LO MINTANYA SEPATU SEHARGA KAMBING ETAWA!”
Braga yang otomatis ngegas bikin gue menyemburkan tawa.
"Oh, mungkin lo pengen lihat bill kado buat lo yang tahun lalu? Biar terinspirasi mau beliin gue apa gitu, selain sepatu."
"Bangke, paling jago lo membalikkan keadaan." Braga menatap gue dengki, "Kaki gajah lo ukuran berapa?"
Tuh kan, kadang orang yang ‘lain di mulut, lain di hati’ itu sebenernya baik. Cuman gengsi aja.
Hp gue yang tergeletak di meja berdenting, memunculkan pop up chat dari Aldira. Gue menyambar sebelum Braga mengintip lebih banyak.
Gue memang mengabari Aldira tentang keberangkatan ke kantor pusat, tepat sebelum Braga masuk ruangan. Seperti tebakan gue, chat kali ini berisikan jawaban kalau dia udah siap berangkat. Bersamaan dengan satu baris kalimat terbawah yang gue baca, lagi-lagi ucapan ulang tahun dari Aldira beberapa hari lalu juga ikut kebaca karena masih satu tampilan layar.
"Lo ready banget, mau kemana?"
"Meeting project buku." Jawab gue sambil mengetik balasan chat Aldira.
"Sama Aldira?"
"Iya."
Gue mengangkat kepala setelah selesai mengirim balasan ke Aldira. "Kenapa lo liat gue sambil cengengesan gitu?"
Braga mengambil paksa tangan gue yang terbebas dari hp untuk menengadah. Ia menaruh lima coklat di sana, persis ngasih permen ke anak kecil dan parahnya gue nurut-nurut aja sambil menunggu maksud tingkah anehnya ini.
Tapi bukannya kasih penjelasan, dia malah berdiri sambil memboyong sisa coklat bersama toples yang dari tadi nggak lepas dari tangannya. Sebelum melenggang pergi dia nengok, "Oh iya, gue saranin tiap lima menit sekali lo kunyah itu. Gue khawatir mulut lo robek duluan sebelum nyampe TI-7 kalau setengah jam nonstop lo senyum selebar itu. Masih ada waktu. Tenang aja, gue terawang-terawang dari kadar kewarasan lo sekarang, kalau pun itu coklat ada peletnya, nggak akan mempan di lo!"
***
No comments:
Post a Comment